Beberapa hari yang lalu gue bertugas mengantarkan nizham sekolah, ngelewatin jalanan yang semerawut sama kendaraan. Banyak pengendara yang memilih buat potong jalur, gak mikirin yang lain ke ganggu atau engga,yang penting mereka duluan sampai.

Gua bukan bagian dari mereka, bukan karena gak bisa tapi karena emang gak berani hehe

Gua typical orang yang meyakini kalau kebanyakan manusia itu cuma punya satu nyawa, lagi pula setiap mau berangkat kemanapun gua selalu dikasih pesan “hati-hati, jangan kebut-kebutan, santai aja yang penting sampe”. Walaupun kalau lama, ya dikomentarin juga.

Pas gua lagi nunggu giliran belok, ada seseorang bilang “Hati-hati ya neng jangan ngebut”, yang bilang itu cuma pak ogah, orang yang biasa bantu pengendara belok atau puter arah.

Sebelum pulang gua ke suatu tempat, parkir sebentar. Terus ada yang bilang “Hati-hati ya teh”, yang bilang cuma bapak-bapak umur 45-an yang emang setiap hari jaga parkiran disitu.

Gue jalan lagi, berenti sebentar karena ada kakek-kakek yang mau nyebrang, terus dia bilang “makasih neng, hati-hati jangan ngebut”

Gue kaget hampir sedih karena hari itu gue dapet pesan yang sama dari tiga orang berbeda, keperdulian yang luar biasa padahal gua gak kenal mereka siapa. 

Sering kali kita, khususnya mungkin gue pribadi nyebut profesi mereka dengan awalan 'cuma', padahal setiap profesi itu mulia, gak ada yang cuma. Karena pekerjaan mereka lebih baik, dari pada cuma minta-minta dijalan raya menjatuhkan harga dirinya sebagai manusia.

Keberadaan mereka sangat membantu,  sayangnya kita hidup pada zaman dimana mengucapkan terimakasih itu susah nya kebangetan. Banyak yang lupa berterimakasih sama bawahannya, sama keluarganya, sama temennya, sama tetangganya, padahal kita tahu sedikit atau banyak keberadaan mereka membantu meringankan urusan kita.

Jujur aja gue selalu kesel sama orang yang enggan untuk berterimakasih, jangan di tiru, itu salah. Setahun belakangan gua tahu kalau sebagai manusia justru kita harus banyak berterimakasih bukan hanya menuntut terimakasih,walaupun tetep aja ada kesel-keselnya hehe

Belum lama ini, gua mengalami hal yang berkaitan dengan terimakasih dan berterimakasih.
Pas gua lagi ngantri di kasir, ada pasangan suami istri nyerobot gue yang lagi anteng nunggu giliran, karena keliatannya orang itu buru-buru, yaudah gua ngalah mundur satu langkah.
Posisi dia sekarang kan ada didepan gue, nah gue jadi liat ada cicak dipunggung istrinya. Gua kasih tahu deh mereka.
Setelah itu, mereka buang muka, tanpa bilang terimakasih. Padahal gue ngasih tahu, kalaupun harus bete juga kayanya gue deh yang diserobot tadi.

Gua jadi mikir "tadimah gak usah dikasih tahu,biarin aja tuh cicek disitu sampe beranak tujuh turunan." Jangan ditiru ya, gue salah kurang sabar hehe

Gua pernah nulis ini di postingan sebelumnya, kalau berterimakasih itu penting, ikhlas atau engga itu urusan mereka, berterimakasih itu menurut gua adalah bentuk penghargaan kita kepada mereka yang notabene nya bukan keluarga, kenal juga engga, kita senyum ke mereka aja engga, tapi mereka perduli sama kita dan rela membagi sedikit waktunya buat mengingatkan kita.

Coba aja kalau kita balik kondisinya, pas kita udah bantu atau mengingatkan orang lain dengan sangat ramahnya, orang itu gak menghargai kebaikan kita. Pasti kesel kan? nah mungkin hal yang sama juga dirasain orang lain kalau kita engga berterimakasih sama mereka.

Indah ko, ga repot.
Lagi pula berterimakasih ga akan menjatuhkan harga diri kita sebagai manusia. Malah sebaliknya, mengangkat derajat kita. Berterimakasih itu membuat orang lain bahagia, membuat orang lain bahagia itu berpahala, berpahala itu menjadikan kita manusia yang mulia.
Naik derajat berkali-kali, seru kan?

Aku berada ditengah-tengah angin yang tidak pernah memberi kepastian ke arah mana angin itu membawaku terbang. Angin-angin yang mengetahui bahwa aku tengah menunggu, namun terus berusaha membuatku bergerak meninggalkan. Tapi aku tetap berusaha tidak berpindah sedikitpun, karena mempercayai bahwa kamu tidak akan pernah melupakan. Setelah melewati waktu yang panjang berdua hingga akhirnya memutuskan untuk saling mendoakan dari kejauhan.

Aku berusaha untuk tidak mengganggumu, atau memperlihatkan rasa ingin tahu-ku tentang kabar juga keberadaanmu. Entah mengapa rasanya sesulit ini meski hanya untuk sekedar melihat punggungmu berlalu, padahal kita berada di tempat yang begitu dekat.

Aku memposisikan diriku sebagai seseorang yang sudah benar-benar lupa bahwa pernah ada canda di antara kita. Namun kali ini, diantara banyaknya kalimat manis yang ku terima, entah mengapa aku lebih menginginkan kalimat sederhanamu. Meski sampai saat ini tak pernah ku dengar tegur maupun sapamu.

Hanya hari ini aku butuh pesan singkatmu. Untuk sekedar menyapa atau mengucapkan doa.

Aku hanya butuh satu hari ini saja untuk meyakinkan hatiku bahwa kamu masih memiliki tujuan yang sama seperti dulu, aku.

Aku mengerti segala bentuk perubahanmu adalah hal alami yang akan dilalui semua manusia. Namun aku tetap tidak dapat menerima itu.

Berkali-kali aku mengatakan bahwa kepastian adalah kunci terakhir kekuatanku untuk bertahan. Namun kamu tetap bersikukuh berfikir bahwa semua hanya perihal kesiapanku menunggu atau meninggalkan.

Jika kamu masih berada disana, di tempat yang sama seperti terakhir kali kita saling menahan senyum saat berbincang bertatap muka. Akankah kamu merasakan sedikit rasa khawatir yang ku alami saat ini? Rasa khawatir akan kedewasaan yang mungkin membuat aku terpaksa melupakanmu, dan memilih untuk pergi jauh dari sisimu.

Namun jika ternyata kamu sudah memutuskan untuk berhenti, atau perlahan mundur lalu pergi, berikan aku sebuah petunjuk. Agar aku tidak terus terombang-ambing menunggu mu kembali pada tempat mu berasal.

Aku hanya ingin menyampaikan sebuah kalimat yang berhasil ku buat, begitu singkat. Memang sangat singkat, namun kalimat itu melalui proses panjangnya pertanyaan-pertanyaan di kepalaku yang akhirnya mendapatkan titik temu.

Terimakasih telah melupakanku.

Hanya itu saja yang akan ku sampaikan jika ada kesempatan kita duduk berdua dan berbicara tentang kita. Kalimat yang membuat ku tidak merasa bahagia namun merasa lega. Rasa lega yang terbentuk karena pemikiran-pemikiran bahwa kamu sudah bahagia, berada di antara manusia yang lainnya.

Aku akan mendengar sepanjang apapun jawabanmu, juga tidak akan menuntutmu untuk memberi penjelasan jika kamu tidak menginginkannya.

Aku akan menerima kenyataan bahwa kamu telah benar-benar pergi. Dan melanjutkan kehidupanku yang sempat terhenti karena menunggumu kembali.

Tapi, jika kelak kamu berubah fikiran. Dan berniat untuk kembali, jangan merasa heran jika mungkin saat itu aku bukanlah orang yang sama. Rasa bahkan tempat yang pernah kamu tinggalkan pun tidak akan lagi sama. Aku bukanlah seseorang yang akan menunggumu kembali untuk yang kedua kalinya ketika kamu ingin mencari udara segar diluar sana.

Aku tidak akan kembali menjadi seseorang yang membuang-buang waktunya untuk seseorang yang tidak pernah berniat untuk menetap tinggal.

Pada akhirnya semua hanyalah bentuk kesia-siaan. Berkali-kali aku mengingatkan hatiku untuk tidak masuk dalam lingkupan keadaan yang seperti ini, keadaan dimana saling tunggu-menunggu adalah hal yang biasa adanya.

Aku meyakini bahwa hati adalah sebuah rumah sederhana, namun dibuat untuk hidup bahagia didalamnya, selamanya. Siapapun yang akan menempati rumah itu, ku harap dia adalah seseorang yang tidak akan pernah menjadikan rumahnya hanya sebagai tempat beristirahat saja.

Pergilah sejauh apapun yang kamu inginkan, aku tidak akan pernah menuntutmu untuk tetap tinggal. Juga tidak berniat untuk terus menunggu. Karena jika memang hatimu adalah rumah sederhana yang telah Tuhan ciptakan untukku, Tuhan akan menunjukan jalan yang paling mudah untuk kita saling bertemu dan mengakhiri segala penantian.

---

Bogor, 6 September 2017