Kita orang asing di tengah keramaian perempuan-perempuan berbaju serba hitam. Saling menyapa bertanya nama juga tempat asal. Berdiri rapi menunggu acara segera dimulai.
Ingat bagaimana pertama kali kita bertemu? Adikmu adalah teman pertamaku dan dia memperkenalkan kita.
Adikmu lucu dan menyenangkan. Dia sangat suka meminta maaf untuk hal kecil yang tidak salah sama sekali di mataku.
Dan kamu,
Di mataku kamu adalah orang pendiam yang susah didekati, terlalu menutup diri.
Waktu berjalan, kita berteman dan banyak hal luar biasa padamu yang aku lihat tanpa perlu kamu tunjukan.
Dua tahun berlalu,
Siang ini, aku melihat senyum menghiasi wajah-wajah orang yang menunggu kepulangan mu, sangat tenang seperti tidak terjadi apa-apa. Mereka bahagia karna kamu terbebas dari penyakit yang selama ini membuatmu lelah dan tidak mudah melakukan banyak aktivitas.
Hati saya remuk melihat seorang laki-laki tua berbaju batik hijau berlari kesana-kemari mencari bambu, entah untuk apa.
Ku pandangi wajahnya yang tabah, gerak nya yang lincah dan perjuangannya yang nyata dalam mengasihimu, mungkin itu hal terakhir yang bisa dia lakukan untuk memperjuangkan kenyamanan mu.
Untuk kamu yang hari ini pergi,
Terimakasih telah mengajarkanku bagaimana cara meredam keegoisan. Selalu berkorban dan mendahulukan kepentingan orang lain dibandingkan dirimu sendiri.
Namun, ada satu hal yang membuatku bingung. Tidak tahu ingin marah atau justru berterimakasih. Kenapa selalu terlihat riang dan bersemangat ketika sebenarnya tubuhmu terlalu lemah untuk melakukannya? Terus bergerak seakan isi perut orang lain lebih penting dibandingkan kesehatanmu. Kenapa?
Meski perih dan menyesal karena tidak tahu sejak awal, aku tetap bangga menjadi bagian dari cerita kehidupanmu yang menakjubkan. Jika ada kehidupan kedua, sampaikan padaku jika kamu tidak bisa melakukannya, sampaikan padaku jika tubuhmu terlalu lelah mengerjakannya. Jangan biarkan aku menyesal di detik-detik terakhir pertemuan kita.
Untuk kamu yang hari ini pergi, aku memaafkan mu. Sesering permintaan maafmu yang terucap tanpa salah dihadapan ku.
Kali ini, ditempat terakhir aku melihatmu. Menatapmu dari jauh, mendoakan sekaligus memohon maaf atas segala kesalahan yang pernah kulakukan atas mu. Memohon maaf atas ketidak peka-an ku padamu.
Kamu suka memasak dan suka bertanya apakah rasa makananmu layak. Sungguh tidak ada jawaban lain, selain sangat luar biasa.
Semoga setiap kebaikan yang dilakukan orang-orang yang mencicipi makanan yang kamu hidangkan, menjadi pahala kebaikan yang berlipat ganda untukmu, Ani, sahabatku🌷
Benar kata adikmu, Allah lebih mencintai dan lebih merindukanmu dibandingkan kita.
Mendoakan adalah cara terbaik untuk mengenang kebaikan-kebaikanmu🌸
--
Rennirn🍃
11.05 AM.
Bogor, 12 Mei 2020.